Buah Jatuh Dekat Pohonnya

488
Melihat Wajah Muna 2020
Dasmin Ekeng

Tempo hari, pada beberapa kesempatan kita sering dikagetkan dengan respon Pak Lurah yang sering terkaget dengan ulah perangkat dan kondisi masyarakatnya.

Nanti pembaca bisa mengurutkan memori sekenanya tentang Pak Lurah dengan respon-respon kagetnya tersebut.

Belum lama ini, Pak RW juga tak kala mengagetkan, dia pun terkaget-kaget dengan wilayah otoritasnya. Saking kagetnya, Pak RW ini mungkin lupa bahwa dia ini tinggal di bawah langit “Ibu Pertiwi” bukan negeri “Om Sam” lagi. Dimana dari kehidupan sosial dan budaya sangat berbeda.

Di sana mereka terbiasa makan keju dan burger, sedangkan di sini singkong menjadi kudapan utama. Dari cara masaknya pun sudah berbeda, terbiasa makan burger dengan proses nanak di atas oven, sedangkan singkong yang matang dari tungku kayu bakar.

Ketika Pak RW kaget dengan akses internet di wilayahnya tidak merata, dia lupa bahwa pada saat yang sama bahwa kehidupan sosial budaya yang coba dia integrasikan dalam sistem sederhana, efektif dan efisien berbeda jauh dengan tempatnya saat makan burger dulu.

Maka apa yang terjadi kemudian? Terkaget-kagetlah dia.

Respon kaget ini seharusnya tidak elok diutarakan bahkan sampai menjadi konsumsi publik di media massa. Artinya, ketika dia ditunjuk oleh Pak Lurah untuk menjadi pembantunya, seharusnya pemahaman konfrehensif tentang wilayah otoritasnya ini sudah final, dengan segala macam kendala dan tantangannya.

Justru kesannya kemudian, Pak RW hanya fokus pada bagaimana menciptakan sistem terbarukan tanpa keluar melihat kondisi riil di lapangan. Atau jika coba berpikir dialiktis (logika terbalik), yang penting sistemnya dulu yang diciptakan, urusan menyesuaikan itu perkara belakangan.

Pada satu sisi, instrumen vital dari terobosan Pak RW ini adalah kesediaan perangkat listrik dan internet yang memadai. Sementara kendala besar yang dihadapi masyarakat pesisir dan pelosok adalah ketersediaan listrik.

Sebenarnya pada sisi yang lain, kritik terhadap semangat Pak RW ini pernah disampaikan seorang mantan “Kepala Sekolah” di kota Gudeg, tapi saat ini dia sudah “dirumahkan” oleh Pak Lurah di istananya.

Dalam kritik tersebut mantan “Kepala Sekolah” ini menyampaikan kekhawatiran tentang “Revolusi Pendidikan” ala Pak RW kala itu. Dalam argumentasinya menurut dia, revolusi pendidikan berbasis teknologi informasi dapat memotong jarak proses belajar peserta didik, dengan kata lain menurutnya revolusi ini mengajarkan peserta didik untuk berpikir serba instan.

Sekilas, pandangan mantan “Kepala Sekolah” ini cukup dystopian dalam memandang perkembangan teknologi informasi. Dimana kalangan ini melihat ada kekhawatiran terhadap laju perkembangan teknologi informasi, yang berimplikasi pada rusaknya tatanan sosial yang sejak lama sudah terbangun.

Kritiknya sebenarnya cukup baik untuk mengingatkan Pak RW saat itu. Tapi kemudian mantan “Kepala Sekolah” memilih untuk nurut pada Pak Lurah.

Kembali pada Pak RW tadi, melihat Indonesia tidak boleh secara parsial saja. Seumpama Indonesia adalah Jawa, Indonesia adalah Jakarta. Saya menduga seperti itu pandangan Pak RW ini saat merancang sebuah revolusi pendidikan di kantornya di Jakarta yang serba ‘full’ fasilitas.

Sehingga ketika mengetahui distribusi listrik dan akses internet yang belum merata di daerah pelosok, diapun menunjukan respon kaget ala Pak Lurah.

Contoh kasus misalnya, ketika teman dosen menerapkan proses kuliah online kepada mahasiswa. Ragam respon dapatkan dari mahasiswa, mulai dari ada yang listriknya hanya menyala malam hari, koneksi internet tidak stabil alias putus-putus, bahkan di tempat tinggal mahasiswa tidak ada jaringan sama sekali.

Pada saat yang sama, dosen harus memahami dengan tenang, bijak serta sebisa mungkin solutif untuk memastikan distribusi materi kuliah secara keseluruhan.

Ketika sekolah dan universitas di Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Surabaya, dll, sudah mapan dengan perangkat dan sistem IT yang memadai, pengajar dan peserta didik hanya butuh menyesuaikan diri dengan ruang baru dalam proses transfer knowledge.

Tapi kondisi akan berbeda ketika sudah bergeser ke arah matahari terbit Indonesia, sebelum kita berbicara instrumen IT ada kondisi sosial, budaya, maupun geografis yang harus ditaklukan.

 


Oleh : Dasmin Ekeng
Penulis adalah Direktur HIPPMASANGIA Institute

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini