Dipajang di HUT Sultra, Tenun Tradisional Muna Siap Go Internasional

1587
HUT SULTRA - Kain tenun Muna dipamerkan di perayaan HUT Sultra ke 55, di kota Kendari. (Nasrudin/ZONASULTRA.COM)

ZONASULTRA COM, RAHA – Kerajinan tenun khas daerah kabupaten Muna, Sulawesi Tenggara (Sultra) kian mantap menyasar pasar mode internasional. Menawarkan corak dan motif yang alami menjadi nilai jual yang kini banyak diminati para designer kondang tanah air.

Momentum hari jadi HUT Sultra Ke-55 tahun ini, kembali menjadi ajang tenun tradisional Bumi Sowite ini untuk unjuk diri di mode trend kekinian pada khalayak.

Ciri khasnya kental, dengan menampilkan berbagai motif tradisional. Nama-namanya unik, sangat akrab dengan kedaerahannya.

Zainal Wakil Ketua Dewan Kerajinan Nasional Daerah (Dekranasda) kabupaten Muna
Zainal

Seperti motif Bhotu yang memiliki sejarah dan menjadi pakaian dari kalangan bangsawan Muna zaman kerajaan, motif Ledha, Bhiabia, motif Kabodhodo, Manggo Manggopa, Kasokasopa, Kaholeno Ghunteli, Kainsisiri, Kambeano Bhontu, Lantelante, Samasili, Kambampu. Nama nama unik ini sangat kental dan sarat makna bagi masyarakat Muna.

Zainal Wakil Ketua Dewan Kerajinan Nasional Daerah (Dekranasda) kabupaten Muna mengatakan saat ini 12 motif tenun khas Muna sudah dipatenkan. Semua motif memiliki sejarah unik.

“Semua muncul dari ide kreatif dari para pengrajin secara turun temurun. Tanpa meninggalkan ciri khas motif asli. Mereka melihat mode trend,” terang Zainal saat ditemui dilokasi HUT Sultra ke 55 di Kota Kendari, Kamis (25/4/2019).

Selain 12 motif tersebut, saat ini sudah banyak motif yang ditelorkan oleh 700 orang pengrajin yang terdaftar di Muna.

“Sekarang ini hampir ratusan motif yang sudah ada lagi. Mereka mengonversi motif. Seperti Lantelante digabung dengan Kasungki. Motif ini, kini telah mendunia,” klaim Zainal.

Dipajang di HUT Sultra, Tenun Tradisional Muna Siap Go Internasional
Tenun Muna dipamerkan di di JCC dalam festival Fashion Week dan Dekranasda

Pameran Dekranasda serta Fashion Week yang dihelat di Jakarta Convention Center (JCC) beberapa pekan lalu, pun menjadi ajang tenun Muna menatap pasar mode internasional. Menampilkan tenunan alami tanpa bahan kimia sangat diminati kalangan desainer nasional.

BACA JUGA :  Seorang Wanita di Kendari Jadi Korban Salah Tembak Polisi

“Motif Kapododo lebih banyak penggemarnya dikalangan desainaer. Mereka lebih suka motif asli. Karena mereka menilai hal itu salah satu bentuk melestarikan motif khas daerah Muna,” cetusnya.

Selain di JCC, tenun Muna juga beberapa kali unjuk pesona pada pameran Bumdes di Bengkulu, pameran Teknologi Tepat Guna (TTG) di Palu dan Bali.

Dengan intensnya, mempromosikan kerajinan khas itu, kini tenun Muna kian percaya diri menyasar pasar mode di event internasional. “Saat ini tenun Muna sudah sering ditampilkan di luar negeri seperti Belanda. Bahkan sampel produk kain tenun Muna sudah diminati beberapa negara,” imbuhnya.

*Meski Merogoh Koceh, Pewarna Alami Banyak Diminati

Pemasaran tenun Muna, lebih laris ke pewarna alam. Bahannya natural dari kulit kayu mahoni, bakau serta kayu sapang. Dedaunan seperti daun mangga, nangka, jati dan daun indigo bisa menghasilkan warna. Bahkan dari akar pohon mengkudu.

Dipajang di HUT Sultra, Tenun Tradisional Muna Siap Go Internasional Selain itu saat ini, Muna tergabung dalam kelompok Cita Tenun Indonesia (CTI) yang aktif mempromosikan kain tenun nasional. Bahkan CTI saat ini tengah menggagas mode fashion yang penggabungan trend masa kini dengan motif khas daerah.

“Ada motif baru lagi yang kini lagi trend motif Labalaba. Bahkan saat berkunjung di stand pameran Ibu Gubernur membeli motif laba-laba. Cukup mahal seharga Rp 2,5 juta. Kain tenun kelas premium,” kata Zainal.

Soal harga, kain tenun yang dipajang berkisar dari harga Rp 350-750 ribu benang biasa. Benang pewarna alam berkisar Rp 1,5 hingga 2,5 juta.

BACA JUGA :  Seorang Wanita di Kendari Jadi Korban Salah Tembak Polisi
*Kampung Tenun Masalili

Pengrajin tenun di Muna saat ini mencapai 700 orang tersebar dibeberapa desa yakni desa Masalili, Liangkobori, Mabolu, Mabodo dan Lakarinta. Namun para pelaku kreatif itu, dominan berasal dari desa Masilili.

“Disana hampir semua rumah tangga ada pengrajinnya. Mereka secara alami turun temurun menenun kain sehingga saat ini hampir generasi milenial di desa Masalili pandai menenun. Bahkan ada pengrajin dari kaum pria,” cetusnya.

Pantas dinobatkan sebagai kampung tenun. pengembangan kain tenun Muna di Masalili kini masuk generasi ketiga. Menelorkan mode baru yang ramah lingkungan namun tetap modis.

*Ini Kata Desainer Soal Tenun Muna

Kusminto Herman Prasetyo desainer Sultra menuturkan bicara potensi tenun Muna sangat besar baik skala nasional maupun internasional.

Namun dirinya menilai kalangan di indonesia belum banyak mengenal tenun Muna. “Penting sekali mengenalkan tenun Muna di ajang Nasional dan internasional.
apalagi trend tenun Muna juga terus berkembang seiring waktu. Peluangnya sama besar dengan batik atau kain Lombok,” ungkapnya.

Dirinya berharap pihak pemerintah dan swasta getol meningkatkan kualitas dan kuantitas tenun Muna. “Sebagai Designer saya sangat bersyukur ketika mendapat respon yg sangat positif dari ketua Dekranasda Muna. SelainPemda, mungkin bisa lebih didukung oleh pihak luar, sehingga kami bisa lebih leluasa untuk berkarya mengenalkan tenun Muna,” urainya.

Kata dia, dibutuhkan kolaborasi yang baik dan berkesinambungan antara pihak pemerintah, swasta dan designer. “Saya sangat yakin tenun Muna bisa menjadi trend Nasional bahkan Internasional,” imbuhnya. (*)

 


Kontributor: Nasrudin
Editor: Abdul Saban

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini