Forsub Suarakan Penolakan Omnibus Law

138
Forsub Suarakan Penolakan Omnibus Law
DENGAR PENDAPAT - Massa aksi dari Forsub yang diterima Nur Sinapoy salah satu anggota dewan di DPRD Provinsi Sultra, Jumat (14/8/2020). (ZONASULTRA.COM/Amal Buchari)

ZONASULTRA.COM, KENDARI – Front Rakyat Sultra Bersatu (Forsub) menggelar aksi demonstrasi menolak Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja (Omnibus Law) di gedung DPRD Provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra), Jumat (14/8/2020).

Jendral lapangan (Jenlap), Iksan mengatakan RUU Omnibus Law ini dapat menimbulkan deforestasi. Sebab, batas kawasan hutan yang dipertahankan untuk Daerah Aliran Sungai (DAS) minimal 30 persen dalam pasal 18 UU nomor 41 tahun 1999 bakal dihapus dalam Omnibus Law.

Di sisi lain DPR memasuki masa reses sejak 16 Juli 2020 sampai 17 Agustus, meski sedang reses DPR dan pemerintah tetap membahas Omnibus Law Rancangan Undang-Undang Cipta kerja.

“Semestinya masa reses digunakan untuk kunjungan ke daerah pemilihan untuk menyerap aspirasi langsung masyarakat. Sementara RUU lainya belum dibahas dan di sisi lain DPR bersikukuh untuk membahas RUU Cipta Kerja ini,” jelas Iksan.

Lanjut Iksan, merujuk sejumlah pasal Omnibus Law akan membahas sendi ekonomi kerakyatan, khususnya petani dan masyarakat pedesaan yang masih tersisa, berpotensi menempatkan tanah dan sumber daya alam sebagai barang dagangan. Padahal, dengan rendahnya taraf hidup masyarakat pedesaan dewasa ini, pilihan menjual tanah menjadi lebih terdorong.

Mewakili massa aksi, Iksan dengan tegas menolak dan mendesak pemberhentian pembahasan Omnibus Law. Baginya ini adalah peringatan bagi pemerintah dan wakil rakyat agar mendengar dan melihat penderitaan rakyat yang mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK) dan menjadi korban pembiaran perampasan tanah di mana-mana.

“Kami ingin pemerintah fokus mengatasi Covid-19 dan memastikan perlindungan kesejahteraan, menegakkan keadilan, serta menghormati demokrasi,” tutup Iksan saat diwawancara usai melakukan aksi demonstrasi di gedung DPRD Provinsi Sultra.

Ketua KPA Sultra, Torop menganggap Omnibus Law di bidang agraria hendak mengamputasi tujuan Undang-Undang Pokok Agraria (UPPA) Tahun 1960, caranya dengan menciptakan norma baru terkait pertahanan.
Rancangan semacam ini, kata Torop adalah kemunduran besar, mengingat UUPA telah mengatur dan membatasi badan usaha melalui HGU paling lama 25-30 tahun dan hanya boleh diperpanjang jika memenuhi syarat.

“Pengusulan HGU 90 tahun bahkan lebih lama daripada UU agraria masa kolonial yang hanya memberi 75 tahun kepada maskapai-maskapai perkebunan belanda. Pembahasan RUU ini mengabaikan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terhadap UU penanaman Modal yang telah membatalkan pengaturan HGU 90 tahun,” papar Torop.

Torop melanjutkan Omnibus Law secara eksklusif memang dibuat untuk lebih mengutamakan posisi investor/korporasi ketimbang perlindungan terhadap hak demokrasi dan konstitusional rakyatnya. Amanah konstitusi untuk melindungi dan mensejahterakan rakyat dikesampingkan begitu saja dengan dalih mendatangkan investasi.

Hal ini dianggap miris oleh Torop, mengingat banyak kasus-kasus kriminalisasi terhadap masyarakat justru yang menjadi pelapornya adalah korporasi/investor itu sendiri.

“Sementara, negara abai untuk melindungi dan membela rakyatnya, negara justru membuat aturan yang mengukuhkan keistimewaan posisi investor (pengusaha/korporasi) dengan berbagai kemudahan regulasi sementara mengebiri hak rakyatnya sendiri,” ungkapnya.

Di samping itu, petani masyarakat adat dan nelayan akan tergusur dari ruang hidupnya karena pemerintah memberikan berbagai keistimewaan dan prioritas kepemilikan lahan untuk kepentingan bisnis dan investasi. Menurut dia, RUU Cipta Kerja (Omnibus Law) mengancam turunnya kualitas dan kuantitas panen kaum tani, nelayan dan masyarakat adat karena perubahan fungsi lahan oleh pengusaha untuk kepentingan bisnisnya.

“Kaum tani, masyarakat adat atau nelayan akan mudah dikriminalisasi kalau melawan proyek para investor dan pengusaha yang disetujui pemerintah,” tutup Torop.

Ketua Eksekutif Kota Liga Mahasiswa Nasional Demokratis (LMND) Kendari, La Ode Agus memaparkan dampak sektor pendidikan seperti tertuang dalam pasal 433 mengatur kampus asing yang ingin membuka cabang di Indonesia yang sudah terakreditasi. Kemudian diakui negaranya hanya ada tiga persyaratan: memperoleh izin pemerintah, berprinsip nirlaba, mendukung kepentingan nasional.

“Pemerintah seharusnya memprioritaskan para pelajar dari kelas menengah ke bawah untuk melanjutkan studi di perguruan tinggi seluruh Indonesia. Jika ditinjau dari berbagi perguruan tinggi masih banyaknya ketimpangan tentang pendidikan dan fakta di di lapangan, mahalnya biaya pendidikan,” ungkap Agus usai aksi demonstrasi di kantor DPRD Provinsi Sultra.

Omnibus Law ini akan mengamandemen 73 aturan. Tertuang dalam 1.028 halaman, terdiri dari 15 bab dan 1224 pasal. RUU ini bermaksud untuk mempermudah iklim investasi di Indonesia.

Sejumlah organisasi masyarakat sipil yang tergabung dalam gerakan itu adalah Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Sulawesi Tenggara, Pusat Kajian dan Advokasi Hak Asasi Manusia (PUSPAHAM), Solidaritas Perempuan (SP) Kendari, Serikat Tani Konawe Selatan (STKS), FORSDA Kolaka, LMND Kota Kendari, Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), Rumah Revolusi, Komunitas Berpikir Sehat , HMI Kom FKIP, HMI Kom Peternakan, HMI Kom Kehutanan dan HMI Kom UMK. (B)

 


Penulis : M3
Editor: Muhamad Taslim Dalma

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini