Jatam: Waspadai Ijon Politik Pertambangan di Pilkada Serentak

98
Jatam: Waspadai Ijon Politik Pertambangan di Pilkada Serentak
(dari kiri-kanan) Koordinator Jatam Merah Johansyah, Staf Deputi Pencegahan KPK Aziz, Desi (moderator) dalam diskusi media bertajuk Mewaspadai Ijon Politik Pertambangan dan SDA di Pilkada Serentak 2017 yang digelar di Kedai Jatam Mampang Prapatan, Jakarta Selatan, Jumat (10/2/2017).(Rizki Arifiani/ZONASULTRA.COM)
Jatam: Waspadai Ijon Politik Pertambangan di Pilkada Serentak
(dari kiri-kanan) Koordinator Jatam Merah Johansyah, Staf Deputi Pencegahan KPK Aziz, Desi (moderator) dalam diskusi media bertajuk Mewaspadai Ijon Politik Pertambangan dan SDA di Pilkada Serentak 2017 yang digelar di Kedai Jatam Mampang Prapatan, Jakarta Selatan, Jumat (10/2/2017).(Rizki Arifiani/ZONASULTRA.COM)

 

ZONASULTRA.COM, JAKARTA – Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) memperingatkan masyarakat untuk mewaspadai praktek ijon pertambangan menjelang pemilihan kepala daerah (Pilkada) serentak terutama di daerah yang kaya akan tambang. Koordinator Jatam, Merah Johansyah menilai isu sumber daya alam kurang tersentuh dalam visi misi para kontestan Pilkada.

“Saat ini 44% wilayah Indonesia ternyata sudah dikapling oleh pertambangan mineral batu bara. Itu problem yang kita hadapi,” ujar Merah dalam diskusi media bertajuk Mewaspadai Ijon Politik Pertambangan dan SDA di Pilkada Serentak 2017 yang digelar di Kedai Jatam Mampang Prapatan, Jakarta Selatan, Jumat (10/2/2017).

Dari 101 daerah Pilkada terdapat 2.582 izin pertambangan termasuk dari 7 daerah Pilkada di Sulawesi Tenggara (Sultra). “Ijin pertambangan pasti akan menjadi komoditas oleh para politisi, para kandidat yang akan berkompetisi di Pilkada,” lanjut aktivis tambang ini.

Menurut Merah, izin-izin pertambangan meningkat mendekati momentum Pilkada atau setelah berlangsung. Modusnya adalah pemberian izin penyalahgunaan wewenang maupun pembiaran pelanggaran perusahaan tambang.

“Kekuasan politik itu bisa memberikan mereka kewenangan izin, kita tahu sekarang kewenangan pemberian izin ada di pemerintah provinsi menurut UU 23 tahun 2014, artinya patut diawasi bupati dan gubernur yang membiarkan izin tambang di kawasan hutan seperti yang terjadi di Sultra,” pungkasnya.

Sementara laporan Litbang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tahun 2015 tentang biaya yang dibutuhkan untuk menjadi walikota/bupati itu mencapai Rp 20 miliar hingga Rp 30 miliar dan gubernur dibutuhkan sekitar Rp 30 miliar hingga Rp 100 miliar. Sedangkan rata-rata Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LKHPN) yang ditemukan oleh studi KPK hanya Rp 6,7 miliar.

Aziz selaku perwakilan dari Deputi Pencegahan KPK sepakat bahwa pertambangan dan kehutanan masih menjadi persoalan tersendiri. UU 23 tahun 2014 tentang perpindahan kewenangan dari kabupaten ke provinsi diharapkan dapan menambah kehati-hatian dalam menerbitkan izin pertambangan.

“Selain itu izin pertambangan tidak bisa diberikan secara langsung tapi harus melalui proses lelang. Sehingga kemungkinan gubernur untuk semena-mena memberikan izin tambang itu tidak bisa lagi,” ujar Aziz yang juga menjadi narasumber.

Pihaknya juga telah meminta kepada kementerian terkait untuk merevisi beberapa regulasi terkait pertambangan.(A)

 

Reporter : Rizki Arifiani
Editor : Jumriati

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini