Kaleidoskop 2019: Mahasiswa Kendari Jadi “Tumbal” Revisi Undang-undang

2032
Kaleidoskop 2019: Mahasiswa Kendari Jadi “Tumbal” Revisi Undang-undang
Ilustrasi

ZONASULTRA.COM, KENDARI – Sepanjang 2019 tercatat banyak kejadian yang menyita perhatian publik. Bahkan tak sedikit pula peristiwa yang terjadi di Sulawesi Tenggara (Sultra) menjadi perbincangan hangat di seluruh penjuru negeri hingga dunia internasional.

Sejumlah peristiwa tersebut yakni bencana banjir bandang di Kabupaten Konawe Utara dan Kabupaten Konawe; kasus kerusuhan yang mengakibatkan 87 rumah terbakar di Buton; terbakarnya Kapal Motor (KM) Izhar rute Kendari-Salabangka Sulawesi Tengah (Sulteng); hingga pencopotan Komandan Distrik Militer (Kodim) 1417/Kendari akibat ulah sang istri yang nyinyir soal Wiranto.

(Baca Juga : Satu Mahasiswa UHO Tewas, Diduga Terkena Tembakan Polisi)

Peristiwa yang paling menghentak publik adalah kasus tewasnya dua mahasiswa Universitas Halu Oleo (UHO) Randi (22) dan Muhammad Yusuf Kardawi (19) saat melakukan demonstrasi di depan gedung Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Sultra pada 26 September 2019.

Kala itu, mahasiswa di seluruh Indonesia termasuk di Kendari menyerbu gedung dewan masing-masing daerah untuk membatalkan revisi sejumlah undang-undang (UU) antara lain Undang-undang Komisi Pembertasan Korupsi (KPK), Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang telah bergulir di meja para wakil rakyat di Senayan sejak 20 September 2019.

Di Kendari, aksi unjuk rasa besar-besaran dengan mengusung tagar “reformasi dikorupsi rakyat bergerak” dilakukan 26 September 2019. Sekitar 5 ribu mahasiswa yang dipelopori tiga kampus besar di Kota Kendari turun ke jalan untuk bertandang ke gedung DPRD Sultra.

(Baca Juga : Yusuf Tewas Usai Dioperasi Selama 6 Jam dan Dibantu 16 Kantung Darah)

Ribuan mahasiswa datang membawa bendera organisasi intra dan eksternal kampus, organisasi masyarakat, pegiat demokrasi bahkan dari kalangan pelajar SMK Negeri 2 Kendari tak mau ketinggalan ikut bergabung dalam satu tuntutan menggugat para wakil rakyat dan pemimpin bangsa. Aksi protes besar-besaran itu berakhir ricuh.

Demonstrasi mahasiswa bentrok dengan polisi, gedung bagian depan DPRD Sultra rusak. Sekitar pukul 13.10 Wita, mahasiswa mendesak masuk ke gedung DPRD, namun polisi langsung menutup pagar, bentrokan pun pecah, pagar kawat duri yang dibentangkan polisi dipindahkan ke pinggir jalan. Beberapa mahasiswa lalu mulai menyerang kantor DPRD dengan batu.

Gemuruh suara lemparan batu diikuti dengan suara kaca yang pecah. Polisi langsung membalas dengan semprotan water canon dari dalam gedung. Konsentrasi massa pun terpecah, ditambah lagi dengan tembakan gas air mata membuat pendemo berlarian.

Bukannya mundur, para pengunjuk rasa semakin terpancing melontarkan batu ke arah polisi. Para demonstran perempuan berlarian mundur menyelamatkan diri ke arah lapangan eks MTQ. Sekitar dua jam saling serang terjadi, mahasiswa juga tak gentar dan bersikukuh menduduki kantor DPRD.

Buntut dari kericuhan antara aparat dengan mahasiswa itu memakan korban. Mahasiswa Jurusan Budidaya Perairan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (FPIK) UHO Randi diduga tertembak oleh oknum polisi di samping kantor Dinas Ketenegakerjaan dan Transmigrasi (Disnakertrans) Sultra sekitar pukul 15.30 Wita.

(Baca Juga : KPK Akan Abadikan Nama Randi dan Yusuf di Pusat Edukasi Antikorupsi)

Randi tiba-tiba terkapar di tengah jalan Abdullah Silondae, lalu sempat dilarikan ke Rumah Sakit Angkatan Darat (RSAD) dr. R Ismoyo Korem 143/Haluoleo. Sekitar 15 menit mendapat penanganan medis, pemuda asal Desa Lakarinta, Kecamatan Lohia, Kabupaten Muna itu dinyatakan meninggal dunia.

Randi lalu dilarikan ke RSUD Kota Kendari untuk diautopsi. Hasil autopsi dari dokter independen menyebutkan, Randi tertembak peluru tajam di bawah ketiak kiri tembus ke dada kanan. Sehingga bisa dipastikan bahwa polisi membawa senjata api saat pengamanan demonstrasi dilakukan.

Tak hanya Randi, mahasiswa Program Pendidikan Vokasi Jurusan Teknik Sipil UHO Muhammad Yusuf Kardawi juga menjadi “tumbal” dari agenda negara merevisi aturan. Yusuf ditemukan terkapar lebih dulu di gerbang samping kantor Disnakertrans.

Yusuf terkapar dengan kepala pecah. Warga Kabupaten Muna itu juga dilarikan ke Rumah Sakit dr R Ismoyo Korem Kendari. Namun, karena kondisinya kritis, Yusuf akhirnya dilarikan ke RSUD Bahteramas untuk menjalani operasi bedah kepala.

Hasil visum, Yusuf terkena benturan keras dari benda tumpul yang diduga dilakukan oleh oknum polisi. Usai dioperasi, Yusuf meninggal dunia pada Jumat (27/9/2019) sekitar pukul 04.05 Wita. Pemuda Muna ini tewas setelah menjalani operasi selama 6 jam dan dibantu 16 kantung darah.

Dalam peristiwa itu, tercatat setidaknya 16 orang menjadi korban dari aksi demonstrasi yang berujung anarkis itu. Di antaranya 12 orang dari kalangan mahasiswa, 3 orang dari anggota kepolisian, dan 1 orang staf Sekretariat DPRD Sultra.

*Publik Kecam Polisi hingga Demo Berjilid-Jilid

Usai Peristiwa berdarah itu, publik mengecam kepolisian sebagai pihak yang diduga bertanggung jawab atas peristiwa tersebut. Presiden RI Joko Widodo tak luput memberi perhatian dengan insiden yang mengenaskan ini. Melalui akun instagramnya Jokowi menyatakan berbelasungkawa. Presiden RI ke-7 ini meminta agar kasus ini diusut jika terdapat kesalahan prosedur.

BACA JUGA :  Disabilitas Netra dan Pemilu: Antara Keinginan dan Keraguan Memilih

Aksi kecaman dimulai oleh Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Halu Oleo (UHO). Ketua BEM UHO Maco mengutuk kepolisian atas berpulangnya dua mahasiswa dalam aksi unjuk rasa itu. Mereka pun menetapkan 26 September sebagai hari bersejarah untuk terus mengenang tragedi itu. Mereka mengusung 26 September sebagai hari “Sedarah”, akronim dari September berdarah.

(Baca Juga : Demonstrasi Tuntut Penembak Randi Ditangkap Berlangsung Ricuh)

Tak hanya itu, Pengurus Wilayah (PW) Muhammadiyah Sultra melalui ketua umumnya Akhmad Aljufri juga meminta kepada Kapolri untuk membentuk Tim Penyelidikan dan Penyidikan dari Mabes Polri untuk mengungkap tewasnya dua mahasiswa dalam aksi demonstrasi. Pihaknya juga meminta Komisi Hak Asasi Manusia RI untuk membentuk tim investigasi.

Ada pula dari Keluarga Besar Mahasiswa (KBM) Teknik se-Sultra menggelar aksi unjuk rasa menuntut kasus tewasnya dua mahasiswa agar diusut tuntas. Aksi ini digelar di Kantor Perwakilan Ombudsman RI (ORI) Provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra) dan di Kantor Wilayah (Kanwil) Kemenkumham Sultra, Senin (30/9/2019).

Tercatat ada belasan demonstrasi dilakukan mulai 27 September hingga 7 November 2019. Demo tersebut bernada kecaman hingga meminta pertanggungjawaban kepolisian kepada mahasiswa serta keluarga. Selama itu, Mapolda Sultra dibentengi kawat berduri yang dibentangkan sepanjang jalan Haluoleo persimpangan empat menuju kantor Gubernur Sultra, arah Nanga-nanga, serta ke jalan Komjen (Purn) M Jasin bundaran Adi Bahasa Baruga.

Gelombang demonstrasi membuat Polda Sultra menarik 3 satuan setingkat kompi (SSK) Satuan Brigade Mobil (Brimob) dari Papua dan 2 SSK Sabhara dari Jakarta dipulangkan ke Kota Kendari, pada Minggu (29/9/2019). Pasukan ini ditugaskan untuk mengamankan demonstrasi mahasiswa. Selama demonstrasi berlangsung, tak sedikit baik mahasiswa dan polisi menjadi korban.

Tak hanya itu masyarakat yang berdomisili di sekitar juga merasa terganggu dengan aksi mahasiswa yang selalu berakhir bentrok. Apalagi oknum mahasiswa usai demo, selalu memblokade jalan dan membakar ban mulai dari bundaran tank Anduonohu sampai pertigaan kampus UHO.

*Gelombang Mutasi dan Pencopotan

Peristiwa 26 September yang diikuti dengan gelombang unjuk rasa mahasiswa, serta kecaman dari berbagai elemen, membuat Kapolri saat itu Jenderal Tito Karnavian mengambil keputusan pencopotan Kapolda Sultra Brigjen Pol Iriyanto.

Brigjen Pol Iriyanto dicopot sebagai pimpinan tertinggi di institusi kepolisian di Bumi Anoa, Jumat (27/9/2019). Pencopotan itu diketahui berdasarkan surat telegram Kapolri nomor: ST/2569/IX/Kep/2019/tanggal 27 September 2019. Iriyanto dirotasi ke Mabes Polri dengan jabatan baru sebagai Irwil III Inspektorat dan Pengawasan Umum (Irwasum).

Jabatan Kapolda Sultra digantikan oleh Brigjen Pol Merdisyam. Kapolda Sultra yang baru itu sebelumnya menjabat sebagai Direktur Sosial Budaya (Sosbud) BA Intelijen dan Keamanan (Intelkam) Mabes Polri.

(Baca Juga : Kapolda Sultra Dicopot)

Pencopotan kepala kepolisian berlanjut, kali ini menyasar Kepala Kepolisian Resort (Kapolres) Kendari. Kapolres Kendari berganti, dari AKBP Jemi Junaidi ke AKBP Didik Erfianto. Sebelumnya Didik menjabat sebagai Kapolres Wakatobi. Sementara Jemi Junaidi dipindahtugaskan ke Polda Kalimantan Tengah (Kalteng) sebagai Kepala Bagian (Kabag) Pengendalian Personel (Dalpers).

Pergantian di pucuk pimpinan kepolisian di wilayah hukum Polres Kota Kendari usai keluarnya surat telegram Kepala Kepolisian RI (Kapolri) Jenderal Tito Karnavian nomor: ST/2657/X/KEP/2019 tertanggal 7 Oktober 2019.

Polda Sultra berkukuh bahwa pergantian tersebut merupakan peristiwa yang lumrah dalam institusi kepolisian. Polda mengklaim tidak ada kaitannya dengan kasus tewasnya mahasiswa.

Setelah dua pucuk pimpinan itu diganti. Kini giliran anak buahnya juga tidak luput dari mutasi. Dari hasil pemeriksaan tim investigasi Mabes Polri ada enam anggota polisi aktif membawa senjata api saat demontrasi. Keenam oknum polisi yang berstatus terperiksa itu akhirnya dimutasi.

(Baca Juga : Kasus Tewasnya Randi, 6 Polisi Dimutasi dan Dibebastugaskan)

Mutasi tertuang dalam surat telegram Kapolri nomor: ST/969/X/KEP.2/2019 tanggal 5 Oktober 2019 terhadap 6 oknum polisi yang membawa senjata api saat pengamanan demonstrasi di gedung DPRD Sultra, 26 September 2019 lalu.

Keenam polisi itu yakni AKP Diki Kurniawan dari jabatan sebelumnya Kepala Satuan Reserse dan Kriminal (Satreskrim) Polres Kendari dipindahkan jadi Pama Roops Polda Sultra. Jabatan Kasatreskrim Polres Kendari diisi oleh AKP Muhammad Sofyan Rosyidi yang sebelumnya Kasatreskrim Polres Bombana.

BACA JUGA :  Hakim Perempuan di PN Andoolo Ungkap Keresahan, dari Minim Fasilitas hingga Rentan Intervensi

Selanjutnya, 5 polisi berpangkat brigadir yakni Bripka Muhammad Ariffudin Puru, Brigadir Abdul Malik, Briptu M Ikbal, Briptu Hendrawan dan Bripda Fathurrohman Saputro dari bagian Polres Kendari dimutasi ke bagian Pelayanan Markas (Yanma) Polda Sultra.

*Satu Tersangka, 5 Terhukum, 4 Korban

Enam polisi terperiksa menjalani sidang disiplin. Mereka terbukti membawa senjata api saat pengamanan demo 26 September 2019. Tiga orang polisi aktif itu mengaku melakukan tembakan peringatan sebanyak tiga kali ke udara. Namun, tiga polisi itu hanya mendapatkan sanksi disiplin yang sama dengan tiga anggota yang lain.

Setelah menjalani sidang disiplin kurang lebih dua minggu, enam polisi itu dijatuhi hukuman disiplin. Mereka yang membawa senjata api (senpi) itu melanggar PP RI nomor 2 tahun 2003 pasal 4 huruf D, F, dan L tentang disiplin anggota Polri. Hukuman yang dikenakan yaitu teguran tertulis, penundaan kenaikan pangkat selama satu tahun, penundaan kenaikan gaji selama satu tahun, penundaan pendidikan dan di tempat khusus selama 21 hari.

Dari peristiwa tersebut, total ada empat orang yang menjadi korban, yakni Randi, Muhammad Yusuf Kardawi, Oksa tertembak di lengan, dan Putri seorang ibu hamil tertembak di kaki saat tidur di rumahnya. Akan tetapi Mabes Polri baru menetapkan satu tersangka yakni Brigadir AM. Penetapan tersangka ini berdasarkan pencocokan selongsong peluru dengan pistol yang dibawa Brigadir AM.

(Baca Juga : Beredar Surat Perintah Penyidikan, Brigadir AM Tersangka Penembak Randi)

Dari hasil uji balistik terhadap selongsong peluru disandingkan dengan 6 senjata api yang diduga dibawa oleh anggota Polri ditemukan keidentikkan. Dari 6 senjata, satu senjata identik dengan dua proyektil dan dua selongsong. Dari hasil uji balistik menyimpulkan 2 proyektil dan 2 selongsong identik dengan senjata api jenis HS yang diduga dibawa oleh Brigadir AM.

Brigadir AM dikenakan Pasal 351 ayat 3 KUHP dan atau Pasal 359 KUHP subsider Pasal 360 KUHP. Dalam Pasal 351 ayat 3, mengatur pidana terhadap penganiayaan yang mengakibatkan kematian orang lain, yakni pidana penjara paling lama 7 tahun.

Polisi hanya menetapkan satu tersangka untuk korban Randi dan Putri. Sementara Muhammad Yusuf Kardawi dan Oksa masih belum jelas. Pasalnya, polisi terkendala saksi dan autopsi yang tidak dilakukan seusai Yusuf meninggal dunia.

Hingga saat ini, berkas perkara masih ada di Polda Sultra. Sebelumnya, penyidik mengirim berkas perkara ke Kejaksaan Tinggi (Kejati) Sultra 27 November 2019 lalu. Setelah diteliti, jaksa penuntut umum (JPU) menilai berkas belum lengkap, lantaran pihaknya belum yakin dengan berkas yang disodorkan terkait hubungan tersangka dan proyektil yang ditemukan.

JPU pun mengembalikan berkas dan meminta polisi agar melakukan rekonstruksi kembali peristiwa kasus tersebut. Selain itu, penyidik kepolisian diminta untuk menambah keterangan saksi dan ahli untuk melengkapi berkas tersebut. Hingga saat ini berkas tersebut masih berada di tangan polisi.

*Rekonstruksi Penembakan

Sesuai petunjuk jaksa, Polda Sultra menggelar rekonstruksi ulang di Jalan Abdullah Silondae, samping kantor Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) Sultra, Selasa (24/12/2019).

Rekonstruksi dilakukan sebanyak 10 adegan yang dilakoni oleh pemeran pengganti terdiri dari tersangka, korban dan saksi berjumlah 13 orang. Tak hanya itu, rekonstruksi juga didampingi tiga orang jaksa penuntut umum (JPU) Kejaksaan Tinggi (Kejati) Sultra.

Adegan utama saat tersangka Brigadir AM mengacungkan senjata ke udara untuk melakukan tembakan peringatan. Proyektil yang muntah tersebut diduga menembus kaki Putri saat sedang tertidur di rumahnya, sekitar Kampus STIE 66 Kendari.

(Baca Juga : Begini Reka Ulang Adegan Penembakan Randi dan Yusuf)

Adegan selanjutnya, polisi dari Direktorat Reserse dan Kriminal Umum (Ditreskrimum) Polda Sultra memperagakan ketika Brigadir AM mengacungkan senjata ke arah massa demonstran. Adegan itu polisi membentangkan tali nilon berwarna biru dari posisi tersangka ke arah badan jalan menuju gerobak martabak depan PAUD Kristen.

Selanjutnya, peran pengganti korban Randi berada di jalan posisi berlari diduga tertembak oleh Brigadir AM. Jaraknya diperkirakan sekitar 28 meter. Saat tertembak korban sempat berlari sejauh sekitar 10 meter. Korban lalu kemudian terjatuh di badan jelan di depan Kantor Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) Sultra.

Selanjutnya, peluru yang menembus tubuh Randi keluar mengarah ke depan PAUD mengenai gerobak martabak. Jaraknya kurang lebih 15 meter antara posisi Randi terkena peluru dengan senjata diduga milik Brigadir AM. Adegan diakhiri dengan peragaan pedagang martabak menemukan proyektil menyangkut di badan gerobak. (SF)

 


Kontributor: Fadli Aksar
Editor: Muhamad Taslim Dalma

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini