Petugas Kebersihan Kota Kendari, Ibarat Ayam Mati di Lumbung Padi

467
Andi Syahrir
Andi Syahrir

Tahu kan anak emas? Orang yang selalu diistimewakan. Ada acara jalan-jalan, duluan dia yang diajak. Pesta bakar ikan, dia masuk di daftar teratas. Bonus umrah gratis, dicarikan cara supaya ikut. Begitulah anak emas.

Salah satu pekerja layanan publik yang perlu dianakemaskan adalah petugas kebersihan. Mereka yang kita gaji dengan nominal tidak seberapa, tapi kita perintah untuk memunguti benda buangan kita setiap harinya. Barang yang tidak jarang membahayakan kesehatan dan keselamatan. Dan hampir selalu menjijikkan.

Boro-boro dianakemaskan. Diperlakukan standar –jika tak hendak disebut marjinal– pun sepertinya masih meragukan. Mereka dua bulan tak terima gaji yang jumlahnya Rp 900 ribu per bulan. Kalau membaca link berita kumparan.com edisi Senin (25 Februari 2019), dikarenakan persoalan administrasi, sepertinya menyangkut keterlambatan menginput rekening dari para petugas ini.

Oh ya, sedikit tentang pembayaran lewat rekening yang sekarang dianut oleh pemerintah daerah, baik provinsi maupun kabupaten/kota. Ada yang istilahnya transaksi non tunai. Semua transaksi, termasuk gaji dilakukan lewat rekening.

Nah, jika masalahnya adalah keterlambatan menginput rekening hingga petugas kesehatan terlambat terima gaji (yang mungkin disebabkan lambatnya para petugas kebersihan menyetor nomor rekeningnya), dapat dipastikan bahwa petugas administrasi/keuangan di Pemkot Kendari –atau secara spesifik di dinas kebersihan– yang lalai atau kurang antisipatif.

Tepatnya, kurang tanggap bahwa betapa pentingnya peran petugas kebersihan dalam kehidupan kota kita. Ketidaksadaran –atau barangkali sebenarnya sadar– seperti ini yang banyak menyelimuti otak dan hati para birokrat kita. Kurang responsif. Kurang peka. Dan biasanya itu berjenjang ke atas.

Saya dapat membayangkan betapa sulitnya para petugas kebersihan ini menyiasati penghidupan mereka dengan gaji Rp 900 ribu per bulan yang sudah dua bulan tak terbayar.

Seharusnya, hak-hak mereka dianakemaskan. Dipikirkan dengan paradigma kedaruratan. Sebab, begitu mereka mogok, kota ini menjadi darurat sampah.

Bukankah di beberapa tahun silam, kota ini pernah dikunjungi banyak kepala daerah karena keteladanannya mengurus sampah? Menjadi trendsetter pengelolaan sampah level nasional. Mengkonversi sampah menjadi energi.

Bukankah baru saja kota ini mengesahkan peraturan daerah tentang sampah? Yang akan memberikan denda berat bagi yang membuang sampah sembarangan. Bahwa dengan demikian, seharusnya pemerintah kota telah selesai dengan urusan paling mendasar dari pengelolaan sampah ini: gaji petugas.

Fakta bahwa gaji petugas kebersihan kita telat dua bulan adalah ironi besar. Ibarat ayam yang mati di lumbung padi.***

 

Oleh : Andi Syahrir
Penulis Merupakan Alumni UHO & Pemerhati Sosial

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini