Politik Identitas, Millenial Cerdas

101
Dwi Arifi
Dwi Arifi

Bicara politik, tak sedikit orang yang menghindar. Fakta hari ini menunjukkan bahwa politik
oleh sebagian besar orang dipandang sebagai kotor, picik maupun licik. Fenomena ini
disebabkan oleh karena perilaku politik dewasa ini yang tak sejalan lagi dengan hakikat
politik yakni pintu untuk mencapai kebaikan bersama (Bonum Commune). Ada begitu
banyak praktik tak sehat semisal KKN sarat bergelayutan di panggung politik. Kenyataan ini sungguh memuakkan.

Hari ini generasi milenial dituntut juga untuk cerdas politik. Namun dalam pandangan
sebagian besar dari mereka, politik tak ubahnya sarang para penyamun, koruptor dan
sebagainya. Pandangan ini akhirnya memunculkan kecurigaan bahkan ketidaksukaan pada
politik.

Di satu sisi, generasi milenial tak dapat disalahkan. tetapi di sisilain, muncul
pertanyaan sampai kapan mereka harus acuh tak acuh pada politik? Bukankah dengan
kekuatan idealisme orang muda, mereka mampu mengembalikan martabat politik? Layakkah generasi milenial berpolitik praktis di tengah sentimen golongan tua yang memandang mereka sebagai anak kemarin yang minim pengalaman. Politik itu kompleks. Terlalu naif bila hanya dipersempit pada moment pemilu saja.

Akhir-akhir ini politik ditolak masuk kampus dengan alasan UU yang melarang politik masuk diarea pendidikan, Selain itupula mahasiswa tidak boleh berpolitik praktis ini ditegaskan oleh Menristekdikti.

Semestinya pemuda lah yang harus berperan aktif dalam membuat perubahan yang lebih baik untuk bangsa, bahkan pemuda tidak boleh alergi untuk ikut terjun di rana politik, mengingat, semua aspek kehidupan ber bangsa tidak terlepas dari peran politik strategis.
negara ini berdemokrasi siapapun bebas melakukan aksi politiknya yang perlu di pahami
setiap aksi ada konsekuensi nya. pemuda dan politik praktis merupakan nuansa politik
kekinian sebagai atmosfer negara berdemokrasi yg penting pilihan politik kita jangan sampai memecah persatuan kita sebagai pemuda yg mempunyai fungsi untuk mengisi kemerdekaan RI. banyak generasi millenial yang paham dengan pemilu. Mereka malah sangat concern dengan demokrasi kita. sistem demokrasi era sekarang seperti nya mengalami kecacatan. Demokrasi hanya sebagai alat untuk menggembungkan isi perut dan dompet atas nama rakyat, agama dll.

Pemerintah dan masyarakat itu saling bertalian, semua harus memiliki rasa tanggung jawab terhadap kondisi perpolitikan Indonesia. Kita tidak sedang dalam lajur kiri atau kanan, kita sedang membangun jembatan kokoh untuk menghubungkan pemerintah dan masyarakat. memang integritas politik di indonesia masih jauh dari kata sempurna, hingga tak asing lagi, jika kita mendapatkan paradigma yang selalu menganggap bahwa politik itu adalah tata cara yang digunakan oleh oknum tertentu untuk memuaskan kepentingan pribadi dan menjadikan masyarakat sebagai suatu jalan hanya untuk memperoleh hasil.

Pemuda bersepakat bahwa generasi milenial harus berpolitik. Dengan asumsi bahwa politik
untuk pengaturan yang kearah yang lebih baik. Yang menjadi pertanyaan adalah haruskah
generasi milenial harus berpolitik praktis. Menurut hemat saya generasi milenial jangan takut untuk berpolitik dan mempromosikan idealismenya. Oleh karena itu dia harus merefleksikan politiknya dalam kehidupan sehari-hari melalui karya-karyanya yang di sumbangsikan untuk negeri.

Kedua: tentunya seorang generasi milenial harus punya tolak ukur dalam proses berpolitik.
memahami bahwa untuk mencapai sebuah ending politik (kebaikan/kebangkitan) maka ada komponen yang harus dipenuhi dan tidak bisa dipisahkan yaitu. Perasaan yang sama.
Pemikiran yang sama. Peraturan yang sama Jadi untuk mencapai sebuah kebaikan dalam sebuah masyarakat maka tiga komponen ini harus diperhatikan. Tatkala masyarakat sudah satu perasaan, pemikiran dan peraturan maka kesenjangan yang terjadi seperti sekarang ini akan sirna dgn sendirinya. Nah. poinya adalah seorang milenial adalah harus berpolitik untuk mewujudkan tiga komponen di atas melalui karya-karya.

Untuk mencapai tiga komponen itu tidak harus dalam konsep keseragaman.
Tidak bisa dipungkiri bahwa Indonesia adalah negara yg multi kultural, kalau kita nengok
sejarah…asas perjuangan adalah kesamaan rasa bahwa kita sedang ditindas oleh para
penjajah. timbullah kesadaran dari proses berfikir bahwa kita harus merdeka maka
dirumuskanlah pancasila dan dasar negara…dan diikrarkanlah kemerdekaan.
Revolusi karakter bukan berarti harus merubah pola keteraturan berpikir secara biologis,
pertaruhannya adalah homeostatis menakar persentase mengelola akal sadar. Kemampuan
pengelolaan ini bersumber dari keterbukaan membuka masalah tanpa harus menyuplai nutrisi pengendapan akal. Fenomena saat ini akal terendapkan hanya karena menaikan bilangan nilai prestise diri. Segala cara dilakukan dengan mendobrak pagar-pagar aturan yang telah ditata dengan rapi. Alhasil mereka yang katanya mewakili suara rakyat, hanya mewakili suara saja tanpa ada kematangan kerakter berintegritas. Ini tidak bisa didiamkan begitu saja, virus kedangkalan karakter akan menginfeksi generasi-generasi penerus pembangunan bangsa.

Dikotomi jelas akan semakin terlihat karena perbedaan pola pikir, mereka yang baru datang mencicipi dunia perpolitikan kaget (bermimpi jatuh dari tempat tidur) kaget tanpa sebab. mengapa seperti ini! “dalam hati tersimpan teka-teki individu yang baru datang itu”. Padahal individu ini menawarkan perubahan sistem yang lebih teratur dalam hal meregulasi karakter.

Tidak hanya integritas yang diperlukan, sikap ngotot yang rasional perlu dipadukan
mengusung kecerdasan yang tenang dan terarah.

 

Oleh : Dwi Arifi
Penulis Merupakan Generasi Literasi Terbit – IPB University

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini