‘SAKIT’ POLITIK (Di Muna)

184
La Ode Muhram Naadu

 

ZONASULTRA.COM – Pilkada Muna hampir usai, tahapannya masih terserempet di meja hijau. Energinya banyak menguras liur-liur disana-sini, pun menyibukkan banyak lidah untuk memplintirnya, ke arah sana-sini. Jumudnya, bahkan urusan ‘Langit’pun ditarik ke politik, dibaurkan dengan pragmatisme kepentingan oknum-oknum duniawi yang katanya politisi.

Kampung saya, Kabupaten Muna adalah salah satu daerah di Sulawesi Tenggara ini yang tidak sedikit melahirkan politisi kelas kakap untuk skala nasional. Begitu riak dengan urusan politik. Tercatat sengit pilkadanya kali ini dengan melahirkan PSU, yang hasilnya melahirkan penafsiran (diluar otoritas MK) yang fenomenal, yakni masing-masing mengklaim sebagai pemenang. Entah itu penafsirnya orang dengan kompetensi Hukum Tata Negara, lanjut Akademisi, Politikus, hingga Tukang Gosip, Penjudi, Pemabuk dsb (semuanya bebas untuk pintar). Ngeri kune!, katanya.

Dahsyatnya pilkada di Muna ibarat sebuah penyakit epidemik berbahaya yang menyerang tanpa batasan umur, sebab politik begitu dimaknai dengan bias. Walau beberapa oknum mungkin punya imunitas memaknainya dengan bijak. Disini mungkin tidak tergambar dengan data yang menjelaskan apa, berapa, bagaimana penyakit epidemik pilkada merusak sendi-sendi kehidupan. Bukan berarti hanya validitas dan realibilitas data yang menunjukan kebenaran pengamatan ini. Penulis sedang berbicara kecenderungan, sindrom. Penulis merasakan ini, mengamati ini, dan menyimpulkan bahwa banyak yang ‘sakit’ (sick) karena pilkada.

Term ‘sick’ sengaja saya gunakan, sebab bisa jadi standar ganda. ‘Sick’ pada gaya bahasa ‘Longman’nya Amerika cenderung diartikan sakit pada jiwanya, sedang ‘sick’ dalam arti Indonesianya adalah sakit, cenderung ke soal raga. Jadi terserah pembaca saja, mau pakai standar yang mana untuk mengukur (bisa juga keduanya). Semoga ukuran ini dapat membantu kita memecahkan solusi untuk memberantas penyakit epidemik politik.

Gairah Tanpa Pedoman

Tak bisa dipungkiri saat ini, gairah politik masyarakat Muna sedang beringas, semua ingin berpolitik hingga sakit (sick). Sebenarnya lumrah, Aristoteles dikutip dari buku H.Mundiri, mengartikan manusia sebagai ‘Zoon Politicon’, Mahluk yang berpolitik ; membutuhkan satu sama lain. Namun sayangnya, pendefenisian politik notabene bias, terdistorsi oleh politisi yang berakting di media. Hingga anggukan mayoritas meng’judge’ politik dengan sesuatu yang negatif, miskin nilai. Tak heran banyak hal bias digiring ke politik, banyak cara dipandang sebagai politik.

Di Muna, perbedaan pandangan politik diartikan begitu ekstrem. Beberapa kejadian aneh mewarnai perhelatan pilkada ini, warna-warninya begitu kelam, kontras dengan warna kehidupan, yang mendamaikan. Jangankan kekerabatan, persaudaraan kandung saja jadi porak-poranda. Konflik kekerasan berlatar politik tak terhitung pasti, Belum lagi hujan hujatan, badai fitnah, saling provokasi (baca : ele-ele). Diketahui dari literatur Sosiologi oleh Karl Svalastonga, kejumudan pandangan ekstrem ini berlatar fanatisme buta, didorong hasrat kekuasaan yang menggelora. Entahlah itu benar atau tidak, kalau itu benar semoga saja kita tidak memelihara kekolotan ini. Kalau itu salah, semoga ada sebab-sebab yang halal yang melandasinya. (Barakallahu)

Lumrah, dalam tataran praktis kita sulit menjumpai jarak yang dekat antara harapan di buku dan realita di masyarakat. Bahasa buku sebenarnya bukan sekedar bahasa puisi, lebih dari itu banyak pedoman disana, yang bisa mengajar, menghajar kekolotan politisi kita berikut orang-orang dibelakangnya yang terbawa mainstream sakit (sick) politik.

Kenyataan yang ada memang menyiratkan bahwa politik adalah dunia pragmatis, yakni adanya penekanan tujuan. Perlu digaris bawahi bahwa sisi pragmatis ini banyak menjebak pemikiran bahwa kita terpaku pada hasil, bukan proses. Singkatnya, yang penting jadi apapun caranya. Keterjebakan inilah yang selalu mendiskreditkan rasionalitas nilai-nilai kehidupan, norma-norma, dan pranata sosial lainnya.

Meminjam abstraksi Otto Van Bismarck, politik diartikan ‘mempertaruhkan kemungkinan untuk merebut kemungkinan yang lebih besar’, Disitu ada nilai yang diperjuangkan, ada tujuan yang hendak diraih. Toh politik tidak hanya soal tujuan dan cara. Politik lebih dari pragmatisme simplistis. Max Weber bahkan mengartikan bahwa politik lebih mengandung sifat eksistensial dalam wujudnya, karena melibatkan juga rasionalitas nilai-nilai (wertrationalitaet).

Berbicara penekanan nilai tentu membahas tentang pendidikan ideologis, Pendidikan Ideologis utamanya adalah tanggungjawab partai (berikut tokohnya). Diluar itu secara etis manusia-manusia yang sadar akan masalah ini berkewajiban. Mengingatkan kalau ada yang salah di mindset kita tentang apa itu politik, biar meminimalisir masyarakat awam yang bereuphoria tanpa terdidik, masyarakat yang beranggapan politiklah hal dominan yang mengepulkan dapur, mendatangkan kedamaian (eudamonia)

Tanggungjawab Menyembuhkan

Orang-orang yang sakit (sick) di Muna harus disembuhkan, masalah yang tercermin sangat jelas bahwa kita kekurangan niat untuk menekankan ‘nilai’ perjuangan itu. Nilai yang menghormati interaksi manusia, nilai yang fundamental, demi kemaslahatan manusia. Kejumudan pandangan yang kaku terhadap politik mestinya terkikis oleh upaya-upaya preventif dalam menjaga nilai-nilai dalam politik. Upaya preventif tersebut berupa penekanan nilai-nilai ksatria, yakni menang dan kalah secara terhormat. Tidak menghalalkan segala cara (ajaran Machiavelli), merangkul yang kalah, bukan mengejek, mencampakkan, pun membumihanguskan.

Politisi di Muna yang mempunyai tanggungjawab dominan terhadap penyembuhan sakit (sick) politik ini seharusnya hadir sebagai pemimpin. Penekanan nilai dalam politik praktis wajib dilakukan. Politisi wajib menjadi memimpin dengan mendidik masyarakat, layaknya falsafah kepemimpinan jawa yang menyatakan ‘ing ngarso asung tuladan, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani’ yang artinya dari depan memberi teladan, ditengah membangun semangat, dari belakang memberi dorongan. Politisi harus menekankan nilai-nilai dalam berpolitik dari setiap sudut pandang dan tindaknya.

Sayangnya, politisi penyembuh sakit (sick) politik seperti ini jarang ditemukan. Justru politisi bebal yang menjamur. Politisi ideal tidak akan ditemukan bila kaderisasi partai masih tanpa pendidikan ideologis, masih memakai sistem ‘beli partai’, sistem ‘sapi perah’, dsb.  Akar permasalahannya memang sudah saling mengikat, tersistemik, masif.

Masalah yang begitu sistemik dalam perpolitikan kita tak jarang menuai pesimisme. Biasanya diskusi-diskusi seperti ini hanya menuai jawaban ‘pasrah’ ‘nyeleneh’. Tak jarang jika solusi muncul banyak yang hanya NATO (Not Action Talk Only). Padahal masalah tak akan pernah terselesaikan jika hanya dibahas. Kita butuh karya nyata, aksi, bicara yang lantang, menulis.

Terlepas dari tanggungjawab dominan politisi terhadap sakit (sick) politik ini,lagi-lagi kita harus ingat bahwa orang-orang yang tahu mestinya saling mengingatkan. Sebab dampak hari ini adalah hasil proses masa lalu, bagaimana dengan proses politik yang bablas hari ini yang akan berdampak untuk generasi kedepannya? Semoga kita bisa selalu mengingatkan dalam kebaikan. Wallahu a’lam bishowab.

 

Oleh : La Ode Muhram Naadu
Penulis adalah Mahasiswa Pasca Sarjana Univ. Muhammadiyah Jakarta asal Muna

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini