Sepucuk Surat Buat Kabut Asap

33

Pertama-tama saya mengucapkan selamat datang di kampung kami. Tanah yang sebelumnya kamu tak pernah singgahi. Maafkan jika kedatanganmu tak kami sambut dengan antusias. Padahal, kami, warga provinsi ini, manusia-manusia ramah. Kami sambut siapapun yang datang. Mulai imigran gelap hingga pekerja asing kami terima dengan hangat.

Tapi, khusus untuk dirimu, kedatanganmu menimbulkan resah. Kami tidak siap menyambutmu. Kami belum beli masker. Tabung oksigen entah berapa stoknya. Mobil pemadam pun tidak memadai. Pejabat kami malah ada yang belum tahu kedatanganmu.

Oh iya, perlu kami sampaikan bahwa energi kami juga sedang tercurah di tujuh kabupaten yang sedang mencari pemimpin baru. Pejabat kami sedang mengadu nasib periuknya apakah masih mengepul setelah pemimpin baru terpilih atau malah terlempar bersama dengan kompor-kompornya. Jadi, harap dimengertilah kalau kedatanganmu disambut dengan penuh rasa khawatir.

Oleh karena itu kami berharap, sebagai tamu yang baik, kami meminta pengertianmu. Jangan berlama-lama di tanah kami. Mohon maaf, jika kami kasar karena mengusirmu. Kami hanya tidak siap menjamu kedatanganmu. Bahkan, mereka yang sudah 17 tahun kau kunjungi rutin pun sudah tak lagi mampu menghadapi kelakuanmu. Apalagi kami, yang sama sekali tak berpengalaman menghadapimu.

Kami bersama pejabat kami, belum tahu kamu dari mana? Asalmu dari apa? Benarkah kamu berasal dari Papua, Kalimantan, atau Sumatera sana yang begitu jauh, ataukah justru berasal dari tanah-tanah kami sendiri?

Maklum, saat ini kami juga sedang berekspansi untuk menciptakan ibu kandungmu. Lahan-lahan kami sudah diserbu perkebunan sawit. Pemerintah kami terus mengiming-imingi agar pemilik modal datang kesini. Jangan tanya betapa dimanjakannya mereka-mereka itu.  

Pemerintah kami bangga, karena keberadaan ibumu akan membuat pundi-pundi daerah akan meningkat. Saking gembiranya, mereka tak lagi peduli tentang bagaimana cara menciptakan ibumu. Katanya, cara termurah yah membakarmu. Itulah ayah kandungmu.

Tapi, mudah-mudahan saja, ibu dan ayahmu bukan akibat ulah dari pemilik modal yang begitu dibanggakan oleh pemerintah kami. Kami hanya sedang curiga. Bukankah curiga tidak dilarang? Bukankah curiga adalah cara untuk mencari kebenaran?

Jika diharuskan memlih, kamu lahir dari pemilik modal atau dari kedunguan rakyat kami yang sengaja membakar lahannya, maka saya lebih memilih yang terakhir. Jika itu dilakukan oleh rakyat kami yang bebal, maka dengan mudah petugas kami dapat menangkap dan menghukumnya hingga jera.

Tapi jika kamu bersumber dari kelakuan pemilik modal itu, maka kami sedang berada dalam kemalangan yang sangat. Mereka adalah makhluk-makhluk yang tak tersentuh tangan hukum. Bahkan, di negeri kami, banyak tangan hukum yang justru menghamba ke mereka.

Sekarang kamu sudah terlanjur datang. Sudah dua hari ini, langit kami tak secerah biasanya. Jarak pandang kami terbatas. Aktivitas kami mulai terganggu. Mereka yang hendak terbang terpaksa terlambat atau bahkan batal. Sungguh, kehadiranmu telah menebar risau di hati kami.

Apa yang harus kami lakukan agar kamu tidak betah di tanah kami? Saat ini, kami hanya ingin membangunkan pejabat kami agar segera mengambil tindakan cepat. Mumpung kamu belum banyak. Mumpung napas kami masih bisa ditarik panjang-panjang.

Barangkali kami juga bisa mengontrol dan saling mengawasi satu sama lain. Pemimpin kami di tingkat paling rendah, RT/RW pasti mengenali warganya. Dari sanalah kami memulai. Pak RT, Pak RW, awasi warga kalian. Larang mereka membakar lahannya. Ancam mereka jika membandel. Kalau perlu laporkan. Itu cara untuk mencegahmu bertambah banyak.

Kami pun tidak berharap banyak ke mereka yang di Jakarta sana. Mereka sedang kebingungan menuntaskan kehadiranmu yang menggila di Tanah Borneo dan Bumi Andalas. Biarlah kami mencoba dulu di Bumi Anoa untuk saling mengingatkan.

Barangkali cukup sekian surat ini. Kami berharap, kamu tidak betah di tanah kami. Hadirmu cukup sebagai pengingat bagi kami, bahwa tanah yang kami pijak harus dijaga. Bahwa bumi dan manusia terikat hubungan kausalitas. Dan atas ikatan itu, bumi ini harus lestari demi keberlangsungan hidup kami, umat manusia.***

 

Andi Syahrir

Alumni Pascasarjana UHO & Pemerhati Sosial

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini