Sultan Himayatuddin Jadi Pahlawan Nasional, Patahkan Stigma Buton Sebagai Penghianat Bangsa

1582
Sultan Himayatuddin Jadi Pahlawan Nasional, Patahkan Stigma Buton Sebagai Penghianat Bangsa
PAHLAWAN- Presiden Joko Widodo saat menunjuk foto Sultan Himayatuddin usai menetapkannya menjadi pahlawan nasional asal Pulau Buton, Sulawesi Tenggara (Sultra) Jumat (8/11/2019) di Istana Negara. (Foto : Istimewa)

ZONASULTRA.COM,KENDARI– Sultan Himayatuddin Muhammad Saidi atau dikenal dengan sebutan Oputa Yii Ko Lakarambau, resmi ditetapkan sebagai pahlawan nasional berdasarkan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 120/TK/2019 tentang Penganugerahan Gelar Pahlawan Nasional tertanggal 7 November 2019.

Gubernur Sulawesi Tenggara (Sultra) Ali Mazi menerima secara resmi piagam gelar pahlawan tersebut dari Presiden Joko Widodo di Istana Negara, Jakarta pada Jumat (8/11/2019).

Ahli sejarah bahari dari Universitas Indonesia, Prof. Susanto Zuhdi mengatakan, proses pengusulan Oputa Yii Ko sebagai pahlawan nasional sudah diusulkan sejak tahun 2005 silam. Kemudian tahun 2012 dirinya menjadi Ketua Tim Peneliti, Pengkaji Gelar Pusat (TP2GP) usulan tersebut kembali dikemukakan kepada Dewan Gelar, Tanda Jasa dan Tanda Kehormatan dan akhirnya Kementerian Sosial (Kemensos) mengusulkan ke Presiden.

Butuh waktu 7 tahun untuk kemudian Sultan Himayatuddin Muhammad Saidi bisa ditetapkan menjadi pahlawan nasional.

Perjuangan Sultan Himayatuddin Melawan Belanda

Sultan Himayatuddin Muhammad Saidi merupakan Sultan Buton yang menjabat selama dua kali masa jabatan, yakni Sultan ke-20 tahun 1750-1752 dan Sultan ke-23 tahun 1760-1763.

Awalnya tidak banyak yang mengetahui jika Sultan Himayatuddin adalah sosok yang melawan Belanda. Pasalnya, di masa kesultanan Dayanu Iksanuddin Buton tahun 1613 menyetujui perjanjian kontrak dengan Belanda untuk melawan tekanan kekuatan daerah lain yaitu Ternate dan Gowa.

Sultan Himayatuddin Muhammad Saidi
Sultan Himayatuddin Muhammad Saidi

Posisi Buton kala itu terombang-ambing dan terjepit karena diserang oleh kerajaan tersebut, belum lagi karena Arung Palakka (Sultan Bone) yang dikejar Sultan Hasanuddin hingga ke Buton setelah meminta perlindungan Dayanu Iksanuddin.

BACA JUGA :  Hakim Perempuan di PN Andoolo Ungkap Keresahan, dari Minim Fasilitas hingga Rentan Intervensi

“Jadi Buton itu disebut sebagai daerah penghianat karena kerjasama dengan VOC/Belanda,” kata Prof Susanto via sambungan telepon seluler, Jumat (8/11/2019).

Kurang lebih satu abad berlalu tahun 1750 di masa kepemimpinan Sultan Himayatuddin, barulah muncul perlawanan keras kepada Belanda. Ia tidak mau lagi menjalani perjanjian kontrak yang sudah terjalin sejak turun temurun itu.

Alasannya, karena perjanjian yang terus diperbaharui semakin menyulitkan dan memberikan kerugian bagi rakyat Buton kala itu. Di antaranya, adanya pengaturan (pembatasan) aktivitas berlayar orang Buton dan pembebasan pajak kapal-kapal VOC yang berlabuh di pelabuhan Buton.

Sampai pada akhirnya, Sultan Himayatuddin dituding sebagai dalang di balik perompakan kapal VOC di Perairan Baubau, dan seharusnya ia melindungi hal itu. Tindakan itu pun membuat geram pihak Belanda.

(Baca Juga : Berkas Pengusulan Oputa Yi Koo sebagai Pahlawan Nasional Segera Dibawa ke Presiden)

Akhirnya Sultan Buton pun didenda karena menyalahi kontrak perjanjian dan harus menyerahkan 1.000 budak sebagai ganti rugi kapal VOC yang dirompak/ditenggelamkan. Akan tetapi, Sultan Himayatuddin enggan menjalankan permintaan Belanda.

“Ya Himayatuddin cuman kirim anak kecil dan orang tua jumlahnya pun beberapa orang saja, dan itu dinilai melecehkan pihak Belanda,” ujar Guru Besar Universitas Indonesia (UI) itu.

Perang Buton vs Belanda

Atas sikap Sultan Himayatuddin itu, Belanda yang dipimpin Kapten I.C. Rijsweber menyerang benteng Keraton Buton tanggal 24 Februari 1755 dan atas kejadian ini di antaranya Sapati dan Kapitalau serta ratusan rakyat Buton tewas. Sedang Kesultanan Buton kala itu berada di bawah kepemimpinan Sultan Hamim.

BACA JUGA :  Disabilitas Netra dan Pemilu: Antara Keinginan dan Keraguan Memilih

Namun seiring berjalannya waktu kondisi semakin memburuk, perjanjian kembali disoroti Belanda lantaran Sultan Hamim tidak membayar ganti rugi Belanda atas karamnya kapal Rust en Werk.

Setelah penyerangan itu, Himayatuddin kembali terpilih sebagai Sultan ke-23 Buton pada tahun 1760-1763. Namun, kepemimpinannya diragukan karena tidak mau berkompromi dengan Belanda. Beliau akhirnya meletakkan jabatannya lalu mengasingkan diri ke hutan Siontapina (Oputa yi Koo).

“Yang pada akhirnya, tahun 1776 ia meninggal dunia di Gunung Siontapina dengan sikap yang tetap teguh terhadap pendirian dan tidak menyerah atau gugur atas perlawanan terhadap Belanda,” ungkapnya.

Prof. Susanto Zuhdi menjelaskan bahwa dengan ditetapkannya Sultan Himayatuddin sebagai pahlawan nasional, menjadi bukti atau dapat mematahkan stigma Buton sebagai penghianat bangsa karena bekerjasama dengan kolonial Belanda.

Untuk diketahui, Susanto Zuhdi melakukan penelitian disertasinya mengenai sejarah Buton dan peran Sultan Himayatuddin sejak tahun 1993 dengan mengumpulkan data melalui arsip pemerintahan kolonial Belanda serta hasil penelusuran dengan tokoh-tokoh sejarah setempat selama kurang lebih 6 tahun.

Nanti tahun 1999 ia pun menyelesaikan disertasinya itu dengan judul “Labu Rope Labu Wana Sejarah Buton Dalam Abad XVII-XVIII” dan disertasi itu pun diterbitkan menjadi sebuah buku berjudul Sejarah Buton yang terabaikan dan Perang Buton VS Kompeni-Belanda 1752-1776 dengan subjudul mengenang kepahlawanan La Karambau. (a/SF)

 


Reporter: Ilham Surahmin
Editor : Kiki

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini