Tiga Pengembara di Dalam Gua

183
Andi Syahrir
Andi Syahrir

Ada tiga orang yang hendak mengembara. Mereka meminta nasehat pada orang paling bijak di kampungnya mengenai rencana perjalanan mereka.

Demagogisch
Andi Syahrir

“Kelak dalam perjalanan, kalian akan memasuki sebuah gua yang gelap gulita. Tak ada sedikit pun cahaya yang membuat kalian dapat melihat apa isi gua itu,” demikian petuah orang bijak itu pada ketiganya.

“Teruslah berjalan dan ambillah bongkahan-bongkahan batu yang ada di dalamnya sebanyak-banyaknya. Semampu-mampunya,” dia melanjutkan.

“Batu itu akan sangat bermanfaat dalam perjalanan kalian berikutnya setelah keluar dari gua. Nah, sekarang berangkatlah kalian,” orang bijak itu menutup nasehatnya.

Ketiganya meninggalkan kampung halaman memulai pengembaraanya. Benar. Mereka menemukan sebuah gua. Mereka masuk ke dalamnya, dan sungguh gelap.

Di sepanjang jalan, kaki mereka kerap menginjak bongkahan batu seperti yang disampaikan orang bijak di kampungnya. Ketiganya teringat dengan petuah orang bijak itu.

Orang pertama yang berpikiran praktis bergumam dalam hati, “buat apa batu-batu ini, akan memberatkan beban saja. Perjalanan masih jauh dan saya belum tahu seberapa panjang lorong gua yang gelap ini. Tidak, saya tidak mengambilnya.”

Dia terus melangkah dengan santai. Jalannya lebih ringan karena tidak membawa beban tambahan selain bekal yang dibawanya.

Orang kedua juga berjalan sembari mengingat-ingat petuah itu. Tidak ada ruginya kalau saya memungut satu dua bongkahan. Secukupnya saja, toh ini hanya batu yang entah untuk apa kegunaannya dalam perjalanan ke depan. Demikian batinnya.

Dia memungut bongkahan yang kecil agar tidak berat. Menyimpannya di dalam kantong bekalnya, dan terus berjalan.

Orang ketiga yang dalam perjalanan selalu mengingat nasehat orang bijak itu, begitu menemukan gua dan memasukinya, bertekad akan memungut seluruh bongkahan yang terinjak kakinya

Sepanjang perjalanan, dia terus memunguti bongkahan batu itu. Mengisi seluruh ruangan di kantong perbekalannya. Dia berjalan terseok-seok karena beban yang dibawanya.

Tapi dia juga punya keyakinan bahwa batu ini kelak akan berguna begitu keluar dari gua. Dia memunguti bongkahan batu semampunya. Sekuatnya.

Dia sesekali diledek oleh dua orang kawannya karena begitu banyaknya batu yang dibawanya.

Tidak terasa, ketiganya sudah sampai di ujung gua. Begitu keluar, mulut gua langsung runtuh dan tak mungkin ketiganya balik lagi.

Di luar gua, mereka kembali dapat melihat. Cahaya matahari menerangi segalanya. Lalu apa yang mereka saksikan dengan batu itu? Ternyata bongkahan emas yang gemerlapan.

Orang pertama sangat menyesal tidak memungut barang sebongkah pun. Orang kedua tak kalah sesalnya karena hanya memungut ala kadarnya. Orang ketiga sangat bergembira karena lelahnya sudah terbayar.
***   ***  ***
Sahabat, perintah memungut batu itu seumpama adalah perintah shalat. Shalat lima waktu. Shalat wajib lainnya. Dan segala shalat sunat yang menyertainya.

Saat ini, kita tidak pernah tahu apa kegunaan shalat itu di perjalanan kita berikutnya. Kita hanya diperintahkan untuk mengerjakannya.

Jangan kira shalat itu pekerjaan mudah. Shalat itu berat. Tapi itu harus. Itu perintah.***

Catatan:
Kisah ini saya tulis ulang berdasarkan ceramah seorang ustadz beberapa tahun lalu.

Oleh: Andi Syahrir
Penulis Merupakan Alumni UHO & Pemerhati Sosial

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini