Ujaran Kebencian vs Ujaran Cinta

85
Andi Syahrir
Andi Syahrir

Beberapa waktu belakangan ini, hate speech atau ujaran kebencian menjadi istilah yang begitu populer. Gara-gara ujaran kebencian, persahabatan menjadi retak, silaturrahmi menjadi putus. Ujaran kebencian menjadi menu harian di dinding halaman media sosial. Dan berkumpulnya sekitar tujuh juta orang di Lapangan Monas, Jakarta, 2 Desember 2016, boleh dikata berangkat dari dan oleh karena “dugaan” ujaran kebencian.

Andi Syahrir
Andi Syahrir

Kata-kata menyakitkan begitu mudahnya terlontar hanya karena perbedaan yang begitu sedikit. Kita harus mengakui kebenaran pernyataan Clark McCauley, seorang psikolog sosial dari Universitas Pennsylvania, yang menyatakan hanya dengan membagi sebuah kerumunan orang ke dalam dua kelompok tanpa kriteria tertentu, cukup untuk membuat setiap orang punya alasan untuk berbeda (–dan barangkali saling benci–) terhadap orang yang bukan kelompoknya.

Sungguh miris jika bangsa kita terus-menerus terjebak dalam cekcok demagogisch (mempertengkarkan hal sepele sehingga abai terhadap hal fundamental) yang tak berujung. Padahal, jika mencoba menjejakinya, Indonesia kaya dengan kearifan lokal yang membawa misi perdamaian dan cinta kasih.

Dengan pendekatan kultural melalui bahasa (daerah) yang tercipta di masing-masing etnis atau sub-etnis, leluhur kita sepertinya telah menyiapkan seperangkat instrumen yang merupakan negasi dari ujaran kebencian. Saya menyebutnya love speech atau ujaran cinta atau ujaran kasih sayang.

***      ***      ***

Kami bernaung di bawah pohon kersen yang rimbun. Bercakap-cakap banyak hal. Masing-masing hanya mengenakan celana pendek dengan bertelanjang dada di siang bolong yang membakar.

“Saya menyayangkan sekali desain rumah limbo-ku,” ujar lelaki itu dengan bahasa daerah Selayar sembari menunjuk rumah ayahku dengan isyarat wajahnya.

Sejenak saya mencerna kata “limbo” yang barusan dilontarkannya. Kalimat ini berarti “tetangga” dengan pengucapan yang begitu halus. Banyak kosakata yang semakna dengan “tetangga” tetapi “limbo” merupakan bahasa yang halus.

Lelaki tadi tidak berkata, “Saya menyayangkan sekali desain rumah ayahmu”. Padahal itu semakna. Dia memilih menggunakan kata limbo-ku. Kedudukan “limbo-ku” lebih tinggi derajatnya ketimbang “ayahmu” dalam hal sopan santun.

Dengan menggunakan limbo, dia harus menggunakan imbuhan “ku” sebagai kata ganti milik untuk dia, ketimbang imbuhan “mu” sebagai kata ganti milik untuk saya. Lelaki tadi menegaskan bahwa yang kami bicarakan itu adalah “kepunyaannya” kendatipun itu adalah ayah saya.

Secara harfiah “limbo” bermakna kumpulan atau kelompok atau bersama. Seseorang yang mengajak makan biasanya mengucapkan, “mari kita makan”. Jika diganti dengan “mari kita limbo-limbo” (mari kita makan bersama-sama), ini merupakan kalimat penuh keakraban dan rasa kekeluargaan.

Ujaran cinta lainnya dapat ditemukan pada orang-orang yang memiliki nama yang sama. Bahasa Selayar mengistilahkannya “gona”. Misalnya Andi Syahrir dengan Sutan Sjahrir. Sama-sama disapa “Syahrir”. Berarti saya dengan Bung Sjahrir ber-“gona”. Bahasa Selayar menyiapkan kosakata khusus untuk mengakrabkan dua atau lebih orang yang memiliki nama yang sama.

Andaikata saya hidup sejaman dengan Bung Sjahrir dan menyapa beliau, maka dalam bahasa Selayar yang sopan dan penuh keakraban, saya akan menyapanya, “Tolong ceramahi saya tentang sosialisme Indonesia, gona”.

Itu baru dua kosakata dari satu bahasa daerah. Ada banyak kosakata lain yang melambangkan ujaran cinta dan kasih sayang dalam bahasa daerah Selayar. Indonesia setidaknya memiliki lebih dari 700 bahasa daerah meski beberapa di antaranya telah terancam punah. Tentunya, setiap bahasa memiliki kearifannya sendiri terkait konsepsi love speech.

Manakala kita tercebur dalam kubangan ujaran kebencian yang begitu dalam, tidak ada salahnya jika memohon maaf pada leluhur dengan menggali dan memahami kearifan bahasa daerah masing-masing. Paling tidak kembali muncul kesadaran bahwa kita bangsa yang [pernah] ramah, yang pada gilirannya menjadi pengontrol lidah atau jemari yang begitu gatal mengutarakan hate speech.

Mengutip novelis Perancis, Honoré de Balzac, “Hate, like love, outgrow by little things”. Kata Balzac, kebencian seperti halnya cinta, berkobar karena hal-hal kecil. Menyelami kosakata bahasa daerah adalah hal kecil yang mungkin mampu mengobarkan kembali pesan-pesan cinta dan perdamaian.***

Oleh : Andi Syahrir
Penulis Merupakan Alumni UHO & Pemerhati Sosial

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini